Dejavu
Pernahkah kamu mengalami perasaan
pernah melakukan kegiatan yang sama persis sebelumnya? Merasakan sebuah kondisi
yang sama perisis sebelumnya? Melihat dan mendengar hal yang sama sebelumnya?
Hal ini memang terkadang sangat membingungkan karena pada saat itu pula kita
tidak mampu mengingat kapan dan dimana pernah melakukan kegiatan tersebut. Hal
tersebut seolah-olah ada dalam mimpi namun kenapa bisa benar-benar terjadi.
Inilah misteri yang biasa disebut orang dengan Déjà vu.
Berdasarkan penelitian, 70% manusia di bumi pernah merasakan déjà vu. Jadi, fenomena psikologis tersebut adalah hal yang sangat wajar dan bukan merupakan suatu kutukan atau karma sebagaimana banyak dipercayai orang. Déjà vu berasal dari bahasa Prancis yang artinya "pernah lihat". Maksudnya, mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Di Yunani, fenomena ini disebut dengan paramnesia yang merupakan gabungan kata para artinya adalah "sejajar" dan mnimi artinya "ingatan".
Kenapa dejavu bisa terjadi?
Pertanyaan yang mundul kemudian
adalah mengapa déjà vu bisa terjadi? Jangan dulu berpikiran bahwa ini adalah
fenomena alam yang tidak mampu dijelaskan secara ilmiah karena para ilmuan
telah menemukan jawaban akan fenomena yang ada dalam alam pikiran manusia tersebut.
Déjà vu terjadi karena adanya gelombang yang diantarkan ke dalam otak.
Gelombang tersebut tercipta setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia.
Gelombang ini lalu diterjemahkan ke dalam bentuk impuls listrik lalu dikirim ke
otak dan dibaca. Tapi ada kalanya otak kita memiliki sensitivitas tinggi
sehingga gelombang yang dibaca berupa amplitudo dan frekuensi tertentu
tergantung dari kualitas otak kita.
Contoh sederhananya suatu waktu kita dalam hati mendendangkan sebuah lagu. Lalu kita menyalakan radio dan di radio sedang dimainkan lagu yang sedang kita pikirkan tadi. Langsung kita berpikir “déjà vu”. Padahal, ini menunjukkan bahwa gelombang radio yang dikirim oleh stasiun pemancar, selain diterima oleh radio kita, juga dibaca oleh otak kita karena sifat otak kita yang super sensitive dalam menerima gelombang listrik itu tadi.Ada lagi teori lain yang menjelaskan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.
Contoh sederhananya suatu waktu kita dalam hati mendendangkan sebuah lagu. Lalu kita menyalakan radio dan di radio sedang dimainkan lagu yang sedang kita pikirkan tadi. Langsung kita berpikir “déjà vu”. Padahal, ini menunjukkan bahwa gelombang radio yang dikirim oleh stasiun pemancar, selain diterima oleh radio kita, juga dibaca oleh otak kita karena sifat otak kita yang super sensitive dalam menerima gelombang listrik itu tadi.Ada lagi teori lain yang menjelaskan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.
dejavu dipengaruhi usia
Ada pula yang beranggapan bahwa déjà
vu ini adalah sebuah penyakit dalam ingatan sehingga semakin tua umur seseorang
maka akan semakin sering pula terjadi déjà vu. Seorang ilmuwan asal Jepang dan
juga merupakan seorang neuroscientist MIT , Susumu Tonegawa, melakukan
eksperimen terkait fenomena ini pada tikus dengan membandingkan ingatan pribadi
(episodik) dengan ingatan baru yang tercatat dalam dentate gyrus. Ia menemukan
bahwa tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami
kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini,
tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring
bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti
Alzheimer. Kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal
tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.
Macam-macam dejavu
Déjà vu juga terjadi dalam berbagai
bentuk ada yang hanya bisa mengingat secara samara-samar, ada yang hanya
mengingat lokasi kejadian, dan ada pula yang mengingat hal-hal yang sangat
mendetail. Secara garis besar, déjà vu terdiri dari empat jenis yakni:
1. dejavu
Déjà vu jenis ini yang paling banyak
terjadi dimana kita pernah merasakan suatu kondisi yang sama sebelumnya dan
yakin pernah terjadi di masa yang lampau dan berulang kali. Sering kali pada
saat itu individu akan diikuti oleh perasaan takut, rasa familiar yang kuat,
dan merasa aneh.
2. dejavu
Perasaan yang terjadi pada Deja Vecu
lebih kuat daripada déjà vu. Deja vecu seseorang akan merasa pernah berada
dalam suatu kondisi sebelumnya dengan ingatan yang lebih detail seperti ingat
akan suara ataupun bau.
3. dejavu Senti
Déjà Senti adalah fenomena “pernah
merasakan” sesuatu. Suatu ketika kamu pernah merasakan sesuatu dan berkata “Oh
iya saya ingat!” atau “Oh iya saya tahu!” namun satu dua menit kemudian sadar
bahwa sebenarnya kamu tidak pernah berbicara apa pun.
4. Jamais Vu
Jamais Vu (tidak pernah
melihat/mengalami) adalah kebalikan dari déjà vu. Kalau déjà vu mengingat
hal-hal yang sebenarnya belum pernah dilakukan sebelumnya, Jamais Vu lain lagi.
Tipe déjà vu semacam ini justru tiba-tiba kehilangan memorinya dalam mengingat
sesuatu hal yang pernah terjadi dalam diri. Hal ini bisa terjadi karena
kelelahan otak.
5. Déjà Visité
Déjà vu tipe ini lebih
menitikberatkan pada ingatan seseorang akan sebuah tempat yang belum pernah ia
datangai sebelumnya tapi merasa pernah merasa berada pada lokasi yang sama.
Déjà Visité berkaitan dengan tempat atau geografi.
Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif
Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif
Pada
awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi
optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih
dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain,
sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru
pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay”
ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang
butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan
perabaannya.
Selain
itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan
pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara
rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu
menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal
belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati
‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan
hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi,
para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan
kita.
Baru-baru
ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru
mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist
MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentante, sebuah bagian
kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui
terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi
kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda
visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk
dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini
akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di
masa depan.
Menurut
Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam
mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti
yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal
kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak
sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu
meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit
degeneratif seperti kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat
kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau
‘lama’.
Menciptakan
‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah
satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah
kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang
peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’
mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk
terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan
berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan
kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan.
Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja
vu.
Seperti
yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University
menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’.
Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk
membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah
dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih
apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan.
Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim
benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara
kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan
gambaran yang pernah dibayangkan.
LiveScience
juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of
Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan
pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian
mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para
partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka
melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi
sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka
hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu
kerjanya oleh hipnosis.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.